BAHASA BAGONGAN
1. Istilah dan Penggunaan
Menurut
Kumala Nareswari RW (2010), bahwa kata Bagongan berasal dari nama tokoh
punokawan dalam pewayangan, yaitu Bagong. Dia adalah salah satu pelayan istana
yang kurang mampu bertutur kata secara lancar, apalagi berbahasa halus. Bahasa
tersebut sudah dikenal sejak masa Sultan Agung, kemudian ditemui juga pada masa
HB I.
Memang
pada masa Sultan Agung (Serat Sastro Gending, Partini B, 2010), beliau menaruh
minat dengan pengembangan bahasa Jawa, termasuk menciptakan tatanan bahasa ngoko-kromo.
Dan pada zaman tersebut harus menggunakan bahasa kromo terhadap
raja.
Adapun
penggunaan bahasa Bagongan seperti digambarkan oleh Widayat (2010) dalam
Ketoprak Mataram, yang menggunakan bahasa ngoko, kromo, dan juga
sering menggunakan bahasa Bagongan yang digunakan oleh pelaku abdi dalem
melaksanakan kewajibannya di lingkungan kraton sebagai bahasa sehari-hari pada
saat caos.
2. Hanya Sebelas Kata
Lebih lanjut Kumala
Nareswari RW (2010) mengemukakan, bahwa bahasa Bagongan hanya terdiri dari 11
kata, sebagai berikut :
1. Henggeh (iyo, ya)
2. Mboya (mboten, tidak)
3. Meniro (kulo, saya)
4. Pekeniro (sampeyan, kamu)
5. Punapi (opo, apa)
6. Puniki (iki, ini)
7. Puniku (iku, itu)
8. Wenten (ono, ada)
9. Nedo (sumawi, mari)
10. Seyos (sanes, bukan)
11. Besaos (kemawon, saja)
Dan juga dikemukakan,
bahwa fungsi bahasa Bagongan sebagai simbol paling mudah ditemukan dalam
adegan-adegan pewayangan.
Dalam pewayangan tersebut ada 2 hal yang kami amati :
a. Pembicaraan antar dewa memang
menggunakan bahasa Bagongan tsb.
b. Namun menurut pengalaman kami
menyaksikan wayang kulit ada kata ulun, (untuk kata ganti aku, saya) dan
kata kito (untuk kata ganti siro, kamu). Tetapi hal tersebut
hanya digunakan buat si dewa berbicara dengan Titah Mercopodo.
Dan ulun digunakan oleh si dewa dan si titah disebut dengan kata
ganti kito. Dan si titah untuk menyebutnya sebagai kata ganti orang
kedua menyebut dengan pikulun.
Contoh :
Narodo :
He ngger Arjuno, kito munggah ing kayangan sajak sumengko pengawak brojo
ono wigati opo ngger
Arjuno
: Nun inggih pikulun, kulo gumrajag datan larapan sowan wonten ngarso pikulun awit ing mercopodo
wonten kedadosan ingkang mboten sebaenipun
Betoro
Guru : Kakang Narodo. Awewaton aturipun Arjuno, milo meniro mrayogekaken
pakeniro Kakang Narodo tumunteno tedak dateng Mercopodo, mindak sangsoyo ndodro
angandar-andar kedadosan puniku.
Narodo : Nun, henggeh di Guru. Meniro tumunten enggal bidal.
He ngger Arjuno, kito enggal ndisiki bali mring Mercopodo. Mboya
antoro suwe ulun nungko laku kito ngger.
1. Partini B : Serat Gending,
Cetakan Pertama, Desember 2010
2. Kumala Nareswari RW : Bahasa
Bagongan Jangan Ikut Punah
KR
: 20 Februari 2010 hal. 17
Kliping
: SSB No. 32 lembar 24
3. Widayat : Boso lan Busono
Sajroning Ketoprak
KR
: 16 Mei 2010 hal 10
Kliping
: SSB no. 34 lembar 15
Dipost oleh Ir. H. A. Toegiman Hadibroto
Pensiunan Widyaiswara Diklat Propinsi Jateng
Untuk Sarasehan Paguyuban Oncek-Oncek Kawruh Sapolo Kab. Klaten
Pada Tanggal 23 November 2011
Pak, menawi kosakata bahasa bagongan itu ditambah bisa tidak ya? Kalau hanya sebelas kata terlalu sedikit. Supaya bisa tetap hidup, secara teoretis bahasa bagongan harus terus digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam dunia pewayangan dan ketoprak saja. Mekaten Bapak.
BalasHapus🤔🤔🤔
HapusAssalamualaikum, pak bisa bantu saya buat dialog dari bahasa bagongan untuk tugas kuliah.. Terimakasih sblmnya pak..
BalasHapusDialek bagongan ( Jogja) kalau dialek Surakarta apa ya bang ?
HapusAda yang tau nggak 😁😁😁
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSaya tertarik dengan bahasa Bagongan ini, apakah jika ingin belajar bagongan harus ke keraton dulu ?
BalasHapus