Rabu, 21 Desember 2011

BAHASA BAGONGAN


BAHASA  BAGONGAN


1.     Istilah dan Penggunaan
Menurut Kumala Nareswari RW (2010), bahwa kata Bagongan berasal dari nama tokoh punokawan dalam pewayangan, yaitu Bagong. Dia adalah salah satu pelayan istana yang kurang mampu bertutur kata secara lancar, apalagi berbahasa halus. Bahasa tersebut sudah dikenal sejak masa Sultan Agung, kemudian ditemui juga pada masa HB I.
Memang pada masa Sultan Agung (Serat Sastro Gending, Partini B, 2010), beliau menaruh minat dengan pengembangan bahasa Jawa, termasuk menciptakan tatanan bahasa ngoko-kromo. Dan pada zaman tersebut harus menggunakan bahasa kromo terhadap raja.
Adapun penggunaan bahasa Bagongan seperti digambarkan oleh Widayat (2010) dalam Ketoprak Mataram, yang menggunakan bahasa ngoko, kromo, dan juga sering menggunakan bahasa Bagongan yang digunakan oleh pelaku abdi dalem melaksanakan kewajibannya di lingkungan kraton sebagai bahasa sehari-hari pada saat caos.
2.     Hanya Sebelas Kata
Lebih lanjut Kumala Nareswari RW (2010) mengemukakan, bahwa bahasa Bagongan hanya terdiri dari 11 kata, sebagai berikut :
1.     Henggeh (iyo, ya)
2.     Mboya (mboten, tidak)
3.     Meniro (kulo, saya)
4.     Pekeniro (sampeyan, kamu)
5.     Punapi (opo, apa)
6.     Puniki (iki, ini)
7.     Puniku (iku, itu)
8.     Wenten (ono, ada)
9.     Nedo (sumawi, mari)
10. Seyos (sanes, bukan)
11. Besaos (kemawon, saja)
Dan juga dikemukakan, bahwa fungsi bahasa Bagongan sebagai simbol paling mudah ditemukan dalam adegan-adegan pewayangan.
Dalam pewayangan tersebut ada 2 hal yang kami amati :
a.      Pembicaraan antar dewa memang menggunakan bahasa Bagongan tsb.
b.     Namun menurut pengalaman kami menyaksikan wayang kulit ada kata ulun, (untuk kata ganti aku, saya) dan kata kito (untuk kata ganti siro, kamu). Tetapi hal tersebut hanya digunakan buat si dewa berbicara dengan Titah Mercopodo. Dan ulun digunakan oleh si dewa dan si titah disebut dengan kata ganti kito. Dan si titah untuk menyebutnya sebagai kata ganti orang kedua menyebut dengan pikulun.
Contoh :
Narodo        : He ngger Arjuno, kito munggah ing kayangan sajak sumengko pengawak brojo ono wigati opo ngger
Arjuno : Nun inggih pikulun, kulo gumrajag datan larapan sowan wonten  ngarso pikulun awit ing mercopodo wonten kedadosan ingkang mboten sebaenipun
Betoro Guru : Kakang Narodo. Awewaton aturipun Arjuno, milo meniro mrayogekaken pakeniro Kakang Narodo tumunteno tedak dateng Mercopodo, mindak sangsoyo ndodro angandar-andar kedadosan puniku.
Narodo : Nun, henggeh di Guru. Meniro tumunten enggal bidal.
He ngger Arjuno, kito enggal ndisiki bali mring Mercopodo. Mboya antoro suwe ulun nungko laku kito ngger.
 Sumber :
1.     Partini B : Serat Gending, Cetakan Pertama, Desember 2010
2.     Kumala Nareswari RW : Bahasa Bagongan Jangan Ikut Punah
KR : 20 Februari 2010 hal. 17
Kliping : SSB No. 32 lembar 24
3.     Widayat : Boso lan Busono Sajroning Ketoprak
KR : 16 Mei 2010 hal 10
Kliping : SSB no. 34 lembar 15

Dipost oleh Ir. H. A. Toegiman Hadibroto
Pensiunan Widyaiswara Diklat Propinsi Jateng
Untuk Sarasehan Paguyuban Oncek-Oncek Kawruh Sapolo Kab. Klaten
Pada Tanggal 23 November 2011

6 komentar:

  1. Pak, menawi kosakata bahasa bagongan itu ditambah bisa tidak ya? Kalau hanya sebelas kata terlalu sedikit. Supaya bisa tetap hidup, secara teoretis bahasa bagongan harus terus digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam dunia pewayangan dan ketoprak saja. Mekaten Bapak.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum, pak bisa bantu saya buat dialog dari bahasa bagongan untuk tugas kuliah.. Terimakasih sblmnya pak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dialek bagongan ( Jogja) kalau dialek Surakarta apa ya bang ?





      Ada yang tau nggak 😁😁😁

      Hapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Saya tertarik dengan bahasa Bagongan ini, apakah jika ingin belajar bagongan harus ke keraton dulu ?

    BalasHapus